PROYEK MULIA OBAT GENERIK BERLOGO

Oleh: Asset At Taqwa, S.Farm
Mahasiswa Program Pendidikan Profesi Apoteker 2012-2013
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga Surabaya













ARAH KEBIJAKAN OBAT GENERIK BERLOGO
Sesungguhnya Bangsa Indonesia telah menetapkan visi mulia di bidang kesehatan, yakni membentuk “Masyarakat Sehat yang Mandiri dan Berkeadilan.” Dengan demikian, Bangsa ini sudah selayaknya bekerja keras dalam mengupayakan peningkatan derajat kesehatan, menjamin penyelenggaraan upaya kesehatan, dan menjamin ketersediaan dan pemerataan sumber daya kesehatan.[i]
Di sisi lain, problematika nasional Bangsa Indonesiaternyata masih melingkupi dimensi kemiskinan dan kesejahteraan rakyat. Menurut BPS pada tahun 2011, angka kemiskinan di Indonesia mencapai 12,49%, yang menunjukkan bahwa ada 30,02 juta penduduk yang memiliki pendapatan per orang per hari US$ 0,75. Fenomena ini adalah tantangan bagi visi kesehatan tersebut.
Di Indonesia, 70 % dari total biaya yang dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan digunakan untuk biaya obat. Hal ini menegaskan bahwa faktor obat memberikan pengaruh signifikan terhadap upaya realisasi visi kesehatan Bangsa ini. Apabila biaya obat tersebut dapat dikendalikan secara bijak melalui kebijakan nasional, Bangsa ini dapat melakukan penghematan biaya yang besar.
Realisasi kebijakan obat generik berlogo (OGB) sejak tahun 1989 silam merupakan salah satu bentuk strategi Pemerintah RI dalam mengatasi tingginya biaya kesehatan. Kebijakan terkait OGB juga merupakan bukti komitmen Pemerintah terhadap Kebijakan Obat Nasional tahun 2006 serta upaya pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015. Kebijakan tersebut menempatkan OGB sebagai obyek utama dalam upaya penjaminan keterjangkauan, ketersediaan, dan pemerataan obatesensial yang bermutu, berkhasiat, dan aman di Indonesia.
Meskipun OGB merupakan obat berkualitas dengan harga yang lebih murah daripada obat bermerk, namun konsumsi OGB secara nasional masih jauh dari harapan Pemerintah. Menteri Kesehatan RI mengatakan bahwa pasar OGBtahun 2010 secara nasional turun dari 2,52 triliun atau 10% dari pasar obat nasional menjadi 2,37 triliun atau 7,2% dari pasar obat nasional dalam lima tahun terakhir.[ii] Nilai tersebut masih jauh di bawah nilai konsumsi obat generik di Malaysia dan Thailand yang meningkat hingga 25%.[iii] Pangsa pasar obat generik di China mencapai 62%.[iv]Sementara di USA, penggunaan obat generik pada tahun 2010 sekitar 40%yang berdampak pada penghematan dana USD 3 milyar setiap pekan.[v]
Terkait upaya pencapaian visi kesehatan tersebut, Pemerintah kini sedang menyiapkan implementasi konsep reformasi pembiayaan kesehatan dan pelayanan kesehatan melalui kebijakan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang akan dimulai pada tahun 2014. Salah satu sasaran penting yang akan dicapai dalam kebijakan tersebut adalah universal coverage, yakni seluruh rakyat Indonesia akan memperoleh jaminan kesehatan dari Pemerintah.
Menurut hasil analisis Depkes RI, dinyatakan bahwa OGBbernilaiefektifdanekonomisdalam SJSN. Pendapat tersebut juga selaras dengan rekomendasi World Health Organization terkait penggunaan obat generik dan hasil analisis dari beberapa negara maju. Hal ini merupakan isyarat bahwa tahun 2014 adalah sebuah awal momentum yang akan menjadi catatan sejarah bagi penggunaan OGB di Indonesia. Apabila pengeksekusian kebijakan tersebut dimanajemen dengan baik, maka bukan tidak mungkin nilai konsumsi OGBnasional meningkat menjadi 60-80% konsumsi obat nasional. Oleh karena itu, Bangsa Indonesia hendaknya saling bekerjasama dalam melakukan revitalisasi OGB, yakni dengan menjamin ketersediaan, keterjangkauan, dan pemerataan OGB.1

DEFINISI OBAT GENERIK
Obat generik adalah obat dengan nama resmi yang menggunakan nama sesuai INN (International Non-propietary Names) dari WHO (World Health Organization) untuk zat berkhasiat yang dikandungnya.[vi]INN adalah nama bahan aktif obat (contoh: Captopril, Asam Mefenamat) dan bukan merupakan nama dagang/ merk obat. Versi generik dari suatu produk obat dapat diproduksi dan diedarkan di Indonesia apabila masa paten dari obat tersebut telah habis. Obat yang memiliki masa paten disebut obat paten (innovator).
Obat generik telah memenuhi syarat quality (mutu), efficacy (khasiat), safety (keamanan) obat, dan sebanding dengan obat paten/ bermerk.Di samping itu, masyarakat dapat memperoleh OGB dengan harga yang sangat murah. Hal ini disebabkan oleh jaminan keterjangkauan obat melalui kendali HET (Harga Eceran Tertinggi) secara nasional yang diberikan oleh Pemerintahmelalui peraturan perundangan.[vii]
 Di Indonesia, terdapat dua istilah obat generik, yakni OGB dan obat generik bermerk. Obat generik bermerk adalah suatu produk obat yang mencantumkan nama generik, nama dagang/ merk produk dari perusahaan, dan nama perusahaan manufaktur. Sementara OGB mencantumkan nama generik, nama perusahaan, serta logo resmi OGB.
 Di masyarakat, OGB lebih lazim dikenal dengan sebutan obat generik, sementara obat generik bermerk dikenal dengan sebutan obat bermerk. Pemerintah hanya melakukan kendali HET terhadap OGB, sehingga harga OGB masih lebih murah dibanding harga obat generik bermerk.

 MUTU OGB
OGB merupakan obat yang bermutu baik. Secara manufaktur, produksi obat generik telah memenuhi persyaratan yang sama dengan produksi obat nama dagang/ bermerk, yakni diproduksi oleh industri farmasi yang telah menerapkan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) dan dibuktikan dengan sertifikat CPOB dari BPOM RI.[viii] Seluruh industri farmasi yang memproduksi OGB merupakan industri yang kredibel dan memiliki reputasi yang baik.

 Sebagai contoh, suatu industri farmasi memproduksi dua sediaan tablet, yakni obat bermerk dan versi generiknya, dengan bahan aktif, dosis, dan indikasi yang sama. Kedua macam obat tersebut diproduksi dengan bahan baku yang bermutu, peralatan yang terkualifikasi, dikerjakan oleh personel yang kompeten, dalam kondisi sanitasi-higienitas yang sama, serta telah lulus serangkaian proses kendali dan penjaminan mutu obat. Dengan demikian, tingkat kekerasan, kerapuhan, hasil uji disolusi, dan berbagai parameter mutu lain (baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif) dari kedua macam obat tersebut sama/ tidak terdapat perbedaan signifikan. Apabila terdapat perbedaan formula (terkait bahan-bahan tambahan obat seperti zat pengental, pengawet, zat pengikat, dan lain-lain) dari kedua macam obat tersebut, hal ini tidak memberikan pengaruh terhadap mutu obat secara signifikan.

OGB SEBAGAI SARANA TERAPI
Sebagai sarana terapi, obat memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan aspek khasiat dan keamanan. Kedua aspek ini dapat dinilai melalui pendekatan farmakokinetika (ilmu yang mempelajari perjalanan obat di dalam tubuh yang meliputi proses absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat). Secara farmakokinetika, produk-produk obat yang memiliki kesamaan (tidak ada perbedaan signifikan) dalam hasil uji bioekivalensi, memiliki kesamaan dalam aspek khasiat (efficacy) dan keamanan (safety).
 Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) RI adalah lembaga yang memiliki otoritas dalam melakukan uji bioekivalensi OGB, obat generik bermerk, dan obat paten. Obat-obat yang tidak memenuhi syarat bioekivalensi, tidak memperoleh izin edar produk.[ix] Pedoman Uji Bioekivalensi tersebut disusun berdasarkanASEAN Guidelines: “The Conduct of Bioavailability and Bioequivalence Studies” tahun 2004.
 Dalam uji bioekivalensi obat, berbagai parameter farmakokinetika OGB dibandingkan dengan obat paten (innovator). OGB dinyatakan lulus uji apabila bioekivalen dengan obat paten. Manifestasi dari fakta ini adalah bahwa OGB memiliki kesamaan dengan obat paten dalam aspek khasiat dan keamanan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa OGBmerupakan sarana terapi yang layak bagi masyarakat.
 Selain BPOM, para peneliti dan akademisi dari berbagai universitas terkemuka di Indonesia juga aktif melakukan penelitian terkait uji bioekivalensi OGB. Beberapa hasil penelitian antara lain, 1) penelitian terhadap tablet Levofloksasin generik 500 mg yang menyimpulkan bahwa produk yang diuji melalui data urin bioekivalen dengan obat paten,[x]dan 2) hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa tablet Clopidogrel 75 mg generik bioekivalen dengan obat paten.[xi]

 KETERSEDIAAN DAN PEMERATAAN OGB
Selain menghemat biaya pengobatan pasien, kebijakan OGB juga dapat menghemat pengeluaran Negara dalam jumlah yang besar.Di saat yang bersamaan, penghematan tersebut tentu akan memberikan pengaruh positif bagi Pemerintah dalampenjaminan ketersediaan dan pemerataan obat.
 Pada tahun 2006, dari 400 jenis obat yang terdapat pada DOEN (Daftar Obat Esensial Nasional), hanya 220 yang telah tersedia versi generiknya.[xii] Sementara itu,dana penyediaan obat untuk pelayanan kesehatan dasar per kapita kabupaten/ kota secara rata-rata masih kurang dari Rp 5.000,00. Nilai ini masih jauh dibandingkan dengan rekomendasi yang ditetapkan oleh WHO, yakni USD 2 per kapita. Data-data tersebut menunjukkan bahwa ketersediaan OGB dari sisi variasi jenis dan jumlah perlu ditingkatkan supaya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
 Sasaran lain yang perlu dicapai adalah pemerataan obat esensial ke ke berbagai daerah terpencil, tertinggal, rawan bencana, dan daerah perbatasan di seluruh wilayah Indonesia. Kebijakan OGB merupakan solusi yang tepat untuk merealisasikan sasaran tersebut.

 KETERJANGKAUAN OGB
Keterjangkauan obat yang dimaksudkan di sini adalah bahwa pengobatan harus dapat diperoleh oleh seluruh lapisan masyarakat dengan biaya yang murah. OGB merupakan solusi yang tepat untuk memenuhi sasaran tersebut. Berikut ini adalah beberapa faktor yang menyebabkan harga OGB lebih murah daripada obat paten atau obat generik bermerk.
Tabel 2. Perbedaan OGB dengan obat paten.
Obat Paten
OGB
1.Memerlukan biaya sangat besar untuk riset penemuan (discovery) obat baru.
1. Merupakan obat copy dari obat paten, sehingga tidak perlu melakukan riset penemuan (discovery) obat baru.
2. Memerlukan biaya sangat besar untuk uji pre klinik kepada binatang dan uji klinik kepada manusia.
2. Tidak perlu melakukan uji pre klinik kepada binatang dan uji klinik kepada manusia. Khasiat dan keamanan dibuktikan melalui uji bioekivalensi.
3. Memerlukan biaya untuk iklan dan promosi.
3. Tidak memerlukan biaya besar untuk iklan dan promosi.
4. Harga ditetapkan oleh perusahaan manufaktur dan tidak diatur oleh Pemerintah.
4. Harga diatur oleh Pemerintah melalui kebijakan Harga Eceran Tertinggi.

Tabel 3. Perbedaan OGB dengan obat generik bermerk.
Obat Generik Bermerk
OGB
1. Memerlukan biaya untuk iklan dan promosi.
1. Tidak memerlukan biaya besar untuk iklan dan promosi.
2. Harga ditetapkan oleh perusahaan manufaktur dan tidak diatur oleh Pemerintah.
2. Harga diatur oleh Pemerintah melalui kebijakan Harga Eceran Tertinggi.


Artikel ini diikutsertakan dalam lomba Karya Tulis OGB yang diselenggarakan oleh PT Dexa Medica


[i]Departemen Kesehatan RI. 2009.Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta
[iii]Sullivan and Frost, 2010. Southeast Asian pharmaceuticals industry: generic drug market.London.
[iv]Chui, Mandy. 2009. Rivalry, risk and reward in the generics market. IMS Health.
[vi]Undang-Undang RI Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. 2009. Jakarta.
[vii]Departemen Kesehatan RI. 2008. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 302/SK/MENKES/III/2008 tentang Harga Eceran Tertinggi Obat Generik. Jakarta.
[viii]BPOM RI. 2011. Peraturan Kepala BPOM RI nomor HK.03.1.23.10.11.08481 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat. Jakarta.
[ix]BPOM RI. 2010. Peraturan Kepala BPOM RI No. HK 00.05.3.1818 tentang Pedoman Uji Bioekivalensi. Jakarta.
[x] Yuswatiningsih. 2011. Uji bioekivalensi tablet levofloksasin generik 500 mg dengan menggunakan data urin. Surabaya
[xi] Danang, etc. 2008. Bioequivalence study of 75 mg clopidogrel tablet produced by PT Dexa Medica in comparison with reference tablet. Medicinus, Vol 21 no 3.
[xii]Departemen Kesehatan RI. 2006. Kebijakan Obat Nasional. Jakarta.













This entry was posted on . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply